Jika bapak masih hidup, bulan Oktober 2024 ini bapak berusia 75 tahun. Kepergian bapak dua tahun yang lalu masih membekas bagiku.
Baru sekarang aku bisa menulis kenangan tentang bapak. Aku masih merindukan bapak dan itu sering membuat ku sedih.
Bapak yang sudah merawat ku sejak kecil hingga dewasa pergi untuk selamanya, meninggalkan mamak dan kami anak-anaknya.
Bapak yang memanjakan kami dengan caranya, berusaha mencukupi segala kebutuhan kami mulai sekolah hingga menikahkan kami.
Meski kondisinya sakit, bapak menepati janji untuk menemani mamak menikahkan anak perempuannya.
Bapak meninggalkan pondasi bagi keluarga kami di Batam. Tanpa kerja keras bapak, aku dan abangku tidak bisa kuliah.
Di keluarga Batubara, Kami anak-anaknya yang pertama jadi sarjana, ini menjadi kebanggaan bapak dan mamak.
Bapak datang ke Batam tahun 1980an, awalnya hanya mengantar obat dari opung untuk Tulangku yang sedang sakit.
Berawal dari situ bapak sekalian mencari pekerjaan dan terima jadi honor di Otorita Batam.
Karena mendapat kerja di Batam, Bapak memberi ku nama Rio Hamonangan Batubaru.
Yang artinya kemenangan di Riau, dulu Batam masih bergabung dengan propinsi Riau.
Jika dengar cerita opung boru, saat itu mamak dan abangku masih di Perdagangan dan aku baru lahir.
Setelah aku cukup besar barulah kami berangkat ke Batam bersama opung boru.
Banyak kisah kami di batam, rumah pertama kami di pengairan lama Sei Harapan.
Layaknya anak pulau kami bahagia tinggal di Batam apalagi tinggal di waduk Sei Harapan. Bisa berenang sepuasnya .
Tapi konsekuensi aku dan abangku pasti dilibas mamak karena suka berenang.
Bapak membesarkan kami dengan cara sendiri, tegas terhadap kedua anak lelakinya dan lembut terhadap anak perempuannya.
Terutama untuk abangku, bapak mendidik cukup keras. Bapak dulu memiliki usaha instalasi pipa .
Abangku menjadi ‘karyawannya’, setiap pulang sekolah abang pasti diajak kerja. Seperti biasa abangku akan ngomel-ngomel.
Tapi abangku tak bisa menolaknya karena sikap tegas bapak. Pernah suatu kali dalam makan keluarga abang terlihat capek ketika abis bekerja.
Bapak hanya bilang bekerja pakai otot itu capek, makanya itu rajin-rajinlah belajar, tamatkan S1 biar ngga kerja kayak bapak.
Tak hanya itu untuk membangun rumah di Tiban, kami gotong royong membuat batu batanya.
Bapak juga pintar bertukang, mulai dari tempat tidur, meja belajar hingga meja rias.
Untuk mencukupi kebutuhan kami bapak dulu sempat “nambang” dengan mobilnya. Tahun 90an tranportasi umum masih sedikit.
Tak hanya membiayai kami sekolah, bapak juga membantu pernikahan kami. Masih teringat ucapan bapak kepada ku. Kalian adalah anakku, tanggung jawabku untuk menikahkan kalian.
Kehadiran cucu laki- lakinya Refael dan Feliks menemani bapak ku di masa pensiun. Dan bapak pun dipanggil grandpa oleh cucunya.
Kesehariannya diisi dengan menjaga cucunya dari kecil hingga besar.
Pak, terimakasih sudah menjaga kami anak-anakmu, tenanglah bersama Tuhan di surga, sekarang tugas kami menjaga mamak.